logo

I'tikaf di Dalam dan di Luar Ramadan | Dr. H. Chazim Maksalina, M.H.

Ditulis oleh alifudin on .

Ditulis oleh alifudin on . Dilihat: 303

I'tikaf di Dalam dan di Luar Ramadan

oleh Dr. H. Chazim Maksalina, M.H.

Ketua Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo

 

Memasuki fase di penghujung ramadan, salah satu ibadah sunah yang sangat dianjurkan terutama pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan adalah i'tikaf atau berdiam diri di masjid. Keutamaan i'tikaf sangat besar, terlebih ketika dilakukan sebagai upaya untuk meraih lailatul qadar atau malam yang lebih mulia dari seribu bulan.   

           Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw bahkan menyatakan bahwa i’tikaf di sepuluh malam terakhir bagaikan beri’tikaf bersama beliau.

Sebagaimana riwayat hadits, yang artinya: “Siapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka beri’tikaflah pada sepuluh malam terakhir,”  (HR Ibnu Hibban).   

            Pengertian I'tikaf

            Secara bahasa, i'tikaf asal dari kata 'akafa-ya'kifu- ukufan. Jika kalimat itu dikaitkan dengan kalimat an al-amr menjadi 'akafahu an il-amr berarti mencegah. Sementara itu, jika dikaitkan dengan dengan kata ala menjadi akafa 'ala al-amr artinya menetapi.

Pengembangan kalimat tersebut kemudian menjadi i'takafa-ya'takifu-i'tikafan yang artinya tetap tinggal pada suatu tempat. Kalimat ' I'takafa fi al-masjid  berarti tetap tinggal atau diam di masjid. Sedangkan secara istilah, i'tikaf adalah kegiatan berdiam diri di masjid untuk beribadah seperti dzikir, bertasbih, dan kegiatan terpuji lainnya serta menghindari perbuatan yang tercela. Ibadah ini tentu saja bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

              Dalam terminologi Islam, i’tikaf merujuk pada praktik berdiam diri di dalam masjid dengan niat ibadah kepada Allah. Tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada-Nya melalui amalan-amalan yang biasanya dilakukan di dalam masjid. Selain itu, seseorang juga dapat memperluas niatnya untuk meraih keutamaan yang lebih besar. Ini termasuk mengunjungi masjid untuk menghormati tempat suci tersebut sebagai rumah Allah, berzikir dan memperdalam hubungan spiritual dengan-Nya, memohon rahmat dan rida-Nya, melakukan introspeksi diri, mengingat hari kiamat, mendengarkan ceramah keagamaan, berinteraksi dengan individu yang saleh untuk meningkatkan cinta kepada Allah, serta menjauhi segala yang dapat mengalihkan perhatian dari kehidupan akhirat. 

             Hukum dan Praktik Itikaf

             Hukum I'tikaf adalah sunnah, ibadah yang dapat dilaksanakan kapan saja, tidak terbatas hanya pada bulan Ramadan, namun lebih dianjurkan untuk dilakukan pada bulan tersebut, khususnya pada 10 malam terakhir.  

            Hadits yang dikutip di atas menyatakan bahwa melakukan itikaf pada periode tersebut lebih ditekankan untuk meraih keberkahan lailatul adar, malam yang penuh rahasia yang ditetapkan oleh Allah. Karena ketiadaan pengetahuan pasti tentang waktu lailatul qadar, penting bagi umat Islam untuk menggunakan sepenuhnya waktu-waktu dalam bulan Ramadan untuk beribadah, baik yang diwajibkan maupun yang dianjurkan, agar tidak melewatkan kesempatan yang berharga tersebut. 

            Diriwayatkan dari Aisyah ra isteri Nabi s.aw menuturkan, “Sesungguhnya Nabi saw melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istrinya mengerjakan i’tikaf sepeninggal beliau”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Dari Ubay bin Ka'ab r.a. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan. Pernah selama satu tahun beliau tidak beri’tikaf, lalu pada tahun berikutnya beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (Hadis Hasan, riwayat Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad).

              Rukun dan Syarat I’tikaf 

              Syekh Nawawi Al-Bantani pada Bab tentang I'tikaf di dalam kitab Nihayatuz Zain memberikan panduan mengenai tata cara i'tikaf. Berikut 4 rukun atau hal-hal yang harus ada dan dilakukan selama i'tikaf menurut Syekh Nawawi Al-Bantani:

  1. Niat
  2. Berdiam diri di masjid sekurang-kurangnya selama tuma'ninah shalat
  3. Masjid
  4. Orang yang beri'tikaf

            Syarat I'tikaf

            Syarat i’tikaf terdiri dari: (1) Muslim, bagi non-muslim tidak sah melakukan i’tikaf. (2) Berakal, orang yang tidak berakal tidak sah melaksanakan i’tikaf. (3) Suci dari hadats besar.

           Yang Membatalkan I’tikaf 

           I’tikaf di masjid menjadi batal disebabkan oleh: (1) Bercampur dengan istri, berdasarkan firman Allah swt, yang artinua:“…Dan janganlah kamu campuri mereka (istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf di masjid, itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa”. (QS. al-Baqarah, 2:187). 

(2) Keluar dari masjid tanpa uzur atau halangan yang dibolehkan syariat. Tetapi bila keluar dari masjid karena ada uzur, misalnya buang hajat atau buang air kecil dan yang serupa dengan itu, tidak membatalkan i’tikaf. Diperbolehkan keluar dari masjid, karena mengantarkan keluarga ke rumah, atau untuk mengambil makanan di luar masjid, bila tidak ada yang mengantarkannya. Aisyah ra meriwayatkan: 

Dari Aisyah r.a. menuturkan, “Nabi saw apabila beri’tikaf, beliau mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku sisir rambutnya, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan hajat manusia (buang air besar atau buang air kecil)”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim).

              Macam-macam I'tikaf dan Niatnya

              Syekh Nawawi mengategorikan i'tikaf menjadi tiga macam yakni i'tikaf mutlak, i'tikaf terikat waktu tanpa terus-menerus, i'tikaf terikat waktu dan terus-menerus.

  1. Niat untuk i'tikaf mutlak  

 “Aku berniat i’tikaf di masjid ini karena Allah.”  

  1. Niat untuk i’tikaf yang terikat waktu, misalnya selama satu bulan

“Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu hari/satu malam penuh/satu bulan karena Allah.”

  1. Niat i'tikaf terikat waktu dan terus menerus

“Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut karena Allah.” 

             Niat i'tikaf yang Dinazarkan 

“Aku berniat i’tikaf di masjid ini fardhu karena Allah.”  atau

“Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut fardhu karena Allah.”  

             Dalam i’tikaf mutlak, apabila seseorang keluar dari masjid tanpa maksud kembali, kemudian kembali, maka harus membaca niat lagi. I’tikaf yang kedua setelah kembali itu dianggap sebagai i’tikaf baru.

Hal ini berbeda bila seseorang memang berniat kembali, baik kembalinya ke masjid semula maupun ke masjid lain, maka niat sebelumnya tidak batal dan tidak perlu niat baru.

          Yang Membatalkan  I'tikaf

           Adapun yang membatalkan i'tikaf, antara lain: (1) Berhubungan suami istri (2) Mengeluarkan sperma (3) Mabuk yang disengaja (4) Murtad (5) Haid (6) Nifas (7) Keluar tanpa alasan (8) Keluar untuk memenuhi kewajiban yang bisa ditunda (9) Keluar disertai alasan hingga beberapa kali, padahal keluarnya karena keinginan sendiri.              Kapan pun di antara kesembilan perkara itu menimpa seseorang yang beri’tikaf maka batallah i’tikafnya. Dan batal pula kelangsungan dan kelanggengan i’tikaf yang terikat dengan waktu yang berturut-turut. Sehingga seseorang harus mengawalinya dari awal, meskipun i’tikaf yang telah dilakukannya bernilai pahala selama yang membatalkannya bukan murtad. Sedangkan dalam i’tikaf yang terikat waktu yang tak berturut-turut, maksud batal di sana adalah waktu batal tidak dihitung sebagai bagian dari i’tikaf. Jika ia memulainya lagi, hendaknya memperbaharui niat dan menggabungkannya dengan i’tikaf sebelumnya. Kemudian, dalam i’tikaf mutlak, maksud batal di sana hanya terputus kelangsungan i’tikafnya saja, sehingga tidak bisa disambungkan dengan i’tikaf sebelumnya, tidak pula bisa diperbaharui. Namun, i’tikaf itu dianggap sah dan berdiri sendiri-sendiri. 

Demikian sekilas tentang i’tikaf yang disarikan dari Bab al-I‘tikaf dalam kitab Nihâyah al-Zain fî Irsyâd al-Mubtadi’in karya Syekh Muhammad ibn ‘Umar Nawawi al-Bantani (Terbitan Darul Fikr, Beirut, Cetakan Pertama, halaman 197)

 Wallahu a'lam bi showab

 Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in

Hubungi Kami

Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo

Jl. Tinaloga No.5 Kelurahan Dulomo Selatan, Kota Utara, Gorontalo

Telp: 0435-8591389 
Fax: 0435-831625

Email : surat@pta-gorontalo.go.id

Hak Cipta Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo © 2022