Lailatul Qadar | Dr. H. Chazim Maksalina, M.H.
Lailatul Qadar
oleh Dr. H. Chazim Maksalina, M.H.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo
Tanpa terasa kita telah memasuki 10 hari terakhir di bulan Ramadan 1446 H. Tadi malam adalah malam ganjil pertama karena masuk tanggal 21 Ramadan, di sebagian masyarakat di Jawa ada yang menyebut malem selikuran (malam dua puluh satuan), menandakan pentingnya perhatian 10 hari akhir Ramadan.
Malam tersebut mengandung banyak keistimewaan, antara lain lebih mulia dari 1000 bulan, titik awal turunnya wahyu Ilahi yang dikenal dengan sumber cahaya kebenaran, dan penuntun ke jalan yang lurus. Dengan kemuliaan lailatul qadr, Rasulullah saw menyerukan agar manusia menjaga dan memperhatikannya dengan mengoptimalkan diri beribadah, memperbayak zikir, doa, dan bacaan Alquran. Khususnya malam-malam terakhir bulan Ramadhan.
Ada sebagian ulama yang menerangkan tanda-tabda lailatul qadar yang menggambarkan lailatul qadr dalam bentuk fisik yang ditandai dengan tanda-tanda fisik pula, seperti daun-daun bersujud, air yang berhenti mengalir dan membeku, binatang malam hening dan sebagainya. Pada detik-detik terjadinya peristiwa tesebut, apa saja yang diminta akan dikabulkan dalam waktu yang tidak begitu lama. Anggapan semacam ini boleh-boleh saja, lailatul qadr sebagai oengakaman langka yang dapat dialami oleh segelintir orang saja.
Melalui isyarat dalam Alquran dan Hadits, kita mencoba menggali makna lailatul qadr lebih secara rasional.
Kata lailatul qadr terdiri atas dua kata, yaitu laila yang berari malam, dan qadar yang berarti ukuran, penentuan, keagungan, dan kemuliaan. Jadi lailatul qadr adalah malam penentuan dan malam keagungan. Lafal lailatul
qadr terulang sebanyak tiga kali dalam Alquran. Lailatul qadr diartikan malam kemuliaan karena: (1) sebagian arti qadr itu adalah kemuliaan, dan (2) mulai pada malam itu Malaikat Jibril AS menampakkan diri di hadapan Nabi Muhammad di Gua Hira, dan pada malam itu pulalah perikemanusiaan mendapat kemuliaan dengan dikeluarkannya nur (cahaya) dari dzulumat (kegelapan). Kemudian dapat juga diartikan sebagai malam penentuan karena (1) pada malam itu pula ditentukan khittah (langkah) yang akan ditempuh oleh Rasulullah saw dalam rangka memberikan petunjuk bagi manusia, dan (2) pada malam itu juga mulai ditentukan garis pemisah antara iman dan kafir, tauhid dan syirik, dan Islam dan jahiliyah. Dengan kedua arti tersebut di atas, tampaklah bahwa malam itu adalah malam istimewa dari segala malam, saat cahaya wahyu datang kembali ke dunia setelah terputus beberapa masa dan habisnya tugas Nabi yang terdahulu.
Para ulama mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai sebab penamaan lailatul qadr antara lain:
Syekh Mushthafa al-Hadidi menyatakan bahwa dinamai lailatul qadr karena kemuliaan sebagai titik tolak turunnya wahyu Ilahi di dalamnya. Al-Qurthubi mengartikan lailatul qadr sebagai lailatul hukmi yang bermakna “malam takdir atau penetapan.” Dinamakan demikian karena sesungguhnya Allah menetapkan pada waktu itu apa yang dikehendaki-Nya untuk diterapkan pada tahun berikutnya, yaitu menyangkut ajal, rezki, dan sebagainya, dengan menyerahkan kepada penanggungjawab urusan, yaitu empat malaikat Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Al Baghdadi mengemukan makna al qadr sebagai pemberitahuan oleh Allah SWT kepada para malaikat tentang ketentuannya dan memerintahkan mereka melaksanakan tanggungjawabnya pada tahun itu. Dari sini kita dapat memahami bahwa Allah SWT tidak membuat ketetapan (hukum) pada waktu itu (kailatul qadar), karena Allah SWT telah menetapkan ketentuan-ketentuan tersebut sejak zaman ‘ azali, sebelum menciptakan langit dan bumi.
Tentang kapan terjadinya lailatul qadr, para ulama hadits berbeda pendapat. Dalam kitab Fathul Bary, Ibnu Hajar al-Asqalani mencantumkan 45 pendapat tentang terjadinya lailatul qadr lengkap dengan periwayatnya. Riwayat tersebut dinukilkan pula oleh asy-Syaukani dalam Nailul Authar. Sebagian berpendapat bahwa lailatul qadr hanya terjadi satu kali, yaitu pada masa Rasulullah saw, al-Asqalani cenderung pada pendapat ini.
Adapun makna lailatul qadr yang diperingati oleh umat Islam setiap tahunnya adalah untuk memberi motivasi kepada mereka agar dapat memperbanyak amal ibadah, karena malam tersebut tetap mempunyai berkah dan kemuliaan. Akan tetapi pendapat ini mendapat tantangan dari ulama lain. Mereka mengatakan bahwa pada umumnya sahabat Nabi dan ulama sesudahnya beranggapan bahwa lailatul qadr itu terjadi setiap bulan Ramadhan sampai hari kiamat. Dalil yang mendasari pendapat ini ialah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, yang artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Abu Suhail dari bapaknya dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah saw bersabda: “Carilah Lailatul Qadar pada malam yang ganjil dalam sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan.”(HR. al-Bukhari). Dari pendapat yang dikemukakan di atas, tampak bahwa pendapat yang disebutkan terakhir berpijak pada argumen yang lebih kuat, sehingga lebih banyak dijadikan pegangan oleh ulama-ulama tafsir.
Sedang kapan saat yang tepat turunnya lailatul qadr, para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat pada malam ke 21, 23, 25, 27, bahkan pada malam ke-29 setiap bulan Ramadhan. Akan tetapi yang terbanyak dari mereka itu adalah yang menyatakan pada malam ke-27 Ramadhan. Pendapat yang terbanyak ini berpegang pada Hadis Ibnu Umar, yang artinya: Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Shalih telah menceritakan kepadaku Al Laits telah menceritakan kepadaku ‘Uqail dari Ibnu Syihab, ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar, ia berkata; sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Carilah lailatul qadr pada tujuh hari terakhir (bulan Ramadhan) (HR. al-Darimi)
Tidak adanya penetapan yang pasti mengenai saat yang pasti turunnya lailatul qadr, tentu mempunyai hikmah yang penting bagi umat Islam. Di antaranya ialah agar mereka tidak hanya memfokuskan diri beribadah pada satu malam saja, tetapi juga pada malam-malam lainnya, terutama malam-malam terakhir di bulan Ramadhan.
Hadits yang mengungkapkan tentang asyrul awakhir (sepuluh terakhir) dari bulan Ramadan, cukup relevan untuk mengubah perilaku masyarakat yang tampaknya hanya giat beribadah pada masa-masa awal Ramadan, yang ditandai dengan berjubelnya para jamaah mengunjungi masjid-masjid, musalla-musalla. Akan tetapi, sebaliknya pada hari-hari terakhir, tampak bahwa kesemarakan itu kurang terlihat lagi. Melalui kajian dan penghayatan terhadap hadits tersebut, masyarakat dapat termotivasi untuk lebih bergairah beribadah dan mengingat keutamaan lailatul qadr.
Selanjutnya tanda-tanda turunnya lailatul qadr yang ingin diketahui oleh hampir setiap orang, sejak Rasulullah saw masih hidup sudah dipertanyakan. Dalam salah satu riwayat, Abu Munzir ditanya tentang tanda-tanda lailatul-qadr, lalu Abu Munzir menjawab: yang artinya: Shahih Muslim 1999: Dan Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hatim dan Ibnu Abu Umar keduanya dari Ibnu Uyainah - Ibnu Hatim berkata - Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Abdah dan Ashim bin Abun Najud keduanya mendengar Zir bin Hubaisy berkata: saya bertanya kepada Ubay bin Ka’b radliallahu ‘anhu. Saya katakan, “Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata: ‘Barangsiapa yang menunaikan salat malam sepanjang tahun, niscaya ia akan mendapatkan malam lailatul qadr.'” Maka Ubay bin Ka’b berkata: “Semoga Allah merahmatinya. Ia menginginkan agar manusia tidak hanya bertawakkal. Sesungguhnya ia telah mengetahui bahwa lailatul qadr terjadi pada bulan Ramadlan, yakni dalam sepuluh hari terakhir tepatnya pada malam ke dua puluh tujuh.” kemudian Ubay bin Ka’b bersumpah, bahwa adanya Lailatul Qadr adalah pada malam ke dua puluh tujuh. Maka saya pun bertanya, “Dengan landasan apa, Anda mengatakan hal itu ya Abu Mundzir?” Ia menjawab, “Dengan dasar alamat atau tanda-tanda yang telah dikabarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami, bahwa di hari itu matahari terbit dengan pancaran cahaya yang tidak menyengat.” (HR. Muslim).
Di dalam tafsir al-Khazin, sebagaimana dikutip al-Baghdadi, tanda-tanda tersebut lebih diperjelas melalui riwayat Hasan, bahwa lailatul qadr itu merupakan suatu malam yang terang lagi menyejukkan, tidak panas dan tidak dingin, matahari terbit pada pagi harinya kurang bersinar (tidak terik). Fenomena dan gejala lailatul qadr yang tampak sangat kuat di masyarakat, perlu disikapui secara bijaksana.
Tentang keutamaan lailatul qadr, mengandung tiga hal yang sangat penting, yaitu:
Diturunkannya Alquran
Alquran yang berisi himpunan firman Allah adalah kitab samawi yang terakhir turun ke dunia ini. Sebagai kitab suci, maka Alquran merupakan sumber pertama dan utama ajaran Islam, serta pedoman hidup umat manusia sepanjang zaman. Terpilihnya lailatul qadr sebagai masa pertama kali turunnya Alquran menunjukkan kemuliaan malam tersebut. Bahkan kitab suci Allah SWT lainnya turun pada bulan Ramadhan (Taurat, Injil dan suhuf) semuanya diturunkan pada bulan Ramadhan. Suhuf Ibrahim AS turun pada tanggal 1 Ramadhan, Taurat tanggal 6 Ramadhan, Injil tanggal 13 Ramadhan, Alquran tanggal 24 Ramadhan (Ahmad bin Hanbal). Isyarat yang menyatakan tentang hal ini dapat dilihat pada Al-Baqarah 2:185, Al-Qadr 92:1, Ad-Dukhan 44: 3, dan QS. Al-Anfal8: 41.
Tingginya Nilai Ibadah di dalamnya Keagungan lailatul qadr juga terlihat pada tingginya kadar nilai pahala amal ibadah yang dilakukan di dalamnya. Meskipun rata-rata usia umat Nabi Muhammad saw berkisar antara 60-70 tahun, dan fisiknya tidak sekuat dengan umat-umat lain, tetapi dengan berkah lailatul qadr yang lebih mulia dari seribu bulan (83 tahun) umat Nabi Muhammad saw dapat mengimbangi, bahkan melebihi umat sebelumnya. Bahkan, al-Qurthubi menyatakan bahwa pengertian dari alfi syahr (seribu bulan) yang dimaksud dalam surat al Qadr, bukanlah berarti harfiah, melainkan berarti majazi (metaforis), yakni segala masa. Alasannya, karena secara filologis angka ribuan ketika turunnya Alquran adalah bilangan tertinggi. Jadi, khair min alfi syahrin tidak berarti lebih baik dari seribu bulan, tetapi lebih baik dari segala masa.
Turunnya para Malaikat
Turunnya para Malaikat merupakan suatu malam kemuliaan yang luar biasa. Karena para Malaikat itu di samping memberi salam dan mendoakan kepada orang-orang mukmin, juga akan melaksanakan tugas-tugas mereka sebagaimana yang telah diperintahkan Allah SWT kepada mereka. Misalnya, menentramkan hati orang-orang mukmin dengan jalan memohonkan ampun dan ridha kepada Allah swt. Oleh karena itu, lailatul qadr adalah pengalaman batiniah, maka tidak dapat dituntut lebih banyak lagi terjadinya perubahan-perubahan fisik terhadap alam ini, dengan mengaitkan turunnya lailatul qadr tersebut.
Seorang muslim, hendaknya menerima lailatul qadr itu sebagai suatu kehormatan yang perlu dihargai dengan mengisi amal ibadah sebanyak mungkin. Dan sebaliknya, hendaklah menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan citra lailatul qadr itu sendiri. Pengakuan terhadap kebenaran lailatul qadr tidak mempunyai arti apa-apa bila tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Rasulullah saw yang nyata-nyata sudah mendapat jaminan surga, tetap mempunyai suatu sikap dalam menghadapi lailatul qadr, yang tentunya dalam hal ini merupakan isyarat kepada umatnya. Sikap Rasulullah saw tersebut antara lain melakukan i’tikaf, meningkatkan salat sunnah, mohon ampunan dari Allah SWT.
Kajian makna lailatul qadr dalam uraian ini, diharapkan dapat memberikan kejelasan pada kita yang mempunyai sikap yang berbeda dalam memahami lailatul qadr. Pemahaman ini hanya sedikit tinjauan dengan pendekatan rasional. Dimaksudkan untuk menjelaskan tentang lailatul qadr itu. Dalam upaya mengaktualkan nilai sakral lailatul qadr itu, bagi kita. Dengan demikian, emosi keagamaan dalam bulan Ramadan, tidak hanya berlangsung di awal bulan Ramadan, tetapi diharapkan dapat berkesinambungan hingga akhir bulan Ramadan. Mari kita renungkan kembali, hadits yang artinya: "Carilah lailatul qadar di malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan".
Wallahu a'lam bi showab
Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in