Tantangan Penegakan Hukum vs Mafia Peradilan

Ditulis oleh Ersi Indah A on .

Ditulis oleh Ersi Indah A on . Dilihat: 1447

 Tantangan Penegakan Hukum vs Mafia Peradilan

oleh Dr. H. Chazim Maksalina, M.H.

Ketua Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo

 

      Rentetan peristiwa hukum hari-hari ini sangat heboh setelah Kejagung menangkap OTT tiga hakim PN Surabaya, tetapi lebih mencengangkan lagi dengan diOTTnya mantan pejabat tinggi MA yang di rumahnya di temukan sejumlah uang hampir 1 T dan 51 kg batangan emas LM. 

       Tantangan Penegakan Hukum

       Tantangan dalam penegakan hukum (_law enforcenent_) dapat diartikan sebagai faktor-faktor yang menghambat atau mempersulit proses penegakan hukum.

      Beberapa faktor yang menjadi tantangan dalam penegakan hukum di Indonesia antara lain _lemahnya_ substansi perundang-undangan, aparat penegak hukum yang _tidak profesional_ dan _defisit etika moral_, serta _keterbatasan sarana dan fasilitas_.

       Ada banyak tantangan dalam penegakan hukum tapi penulis hanya akan menyebutkan dua alasan saja agar tulisan ini tidak terlalu panjang.

       Tantangan _eksternal_ dalam penegakan hukum meliputi keterbatasan sarana hukum, perubahan sosial dan budaya, dan perubahan teknologi.

       Tantangan _internal_ dalam penegakan hukum meliputi korupsi, _mafia peradilan_, dan kurangnya kapasitas, kompetensi, integritas, dan komitmen dalam penegakan hukum.

         Lebih khusus lagi penulis hanya akan fokus pada masalah _mafia peradilan_.

         Dalam sistem peradilan dan hukum kita timbul _judicial corruption_ dan tidak adanya sikap _judicial discretion_ dalam diri aparat penegak hukum kita, khususnya para hakim, yang kemudian menimbulkan praktek-praktek mafia peradilan dalam lembaga hukum kita.

        Modus _operandi_ mafia peradilan ibarat _transaksi_ jual-beli. Penjual pihak yang mempunyai kewenangan, sedangkan pembeli kelompok yang membutuhkan kemenangan dalam suatu proses hukum. Penjual, misalnya, adalah hakim yang memutus perkara dan pembeli adalah terdakwa yang membutuhkan putusan bebas.

         Dalam praktek jual-beli kasus, posisi panitera, pegawai pengadilan, dan advokat adalah _makelar perkara_.  Sebagai calo, mereka berfungsi sebagai penghubung negosiasi antara penjual dan pembeli. Mereka mendapat komisi dari transaksi jual-beli. 

        Praktik mafia itu dilakukan dengan cara; pemerasan, penyuapan, pengaturan majelis hakim _favourable_, calo perkara, pengaburan perkara, pemalsuan vonis, pemberian surat sakti, atau vonis yang tidak bisa dieksekusi.

        Bila dilihat dari sejarahnya, mafia peradilan itu mulai menggeliat semenjak munculnya Orde Baru.  Saat itu, lembaga hukum berada di dalam _hegemoni_ kekuasaan. Sementara di sisi lain, kekuatan masyarakat sipil tak berdaya sama sekali.

         Modus mafia peradilan menjangkau di setiap tingkat proses hukum. Mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga di pengadilan.

Tidak hanya dalam kasus pidana namun gugatan perdata di tingkat pengadilan negeri, tingkat banding hingga tingkat kasasi, _judicial corruption_ merajalela dengan bebas.

         Tingkat kepolisian, modus yang sering digunakan oleh penyidik antara lain menghentikan proses penyidikan setelah terjadi negosiasi harga dengan tersangka, memanipulasi BAP agar dakwaan dapat meringankan tersangka, tidak membuat SPDP (surat perintah dimulainya penyidikan).

         Di tingkat kejaksaan, misalnya dalam kasus korupsi, calon tersangka dipanggil ke kejaksaan dan ditanya apakah kasusnya akan diteruskan atau tidak, kalau pada saat itu si calon tersangka bersedia membayar jumlah uang tertentu maka kasusnya tidak akan diteruskan.

        Kemudian di tingkat pengadilan pidana, pihak terdakwa memberikan kompensasi tertentu pada pihak Jaksa Penuntut Umum agar dakwaannya dibuat kabur atau dibuat lemah sedemikian rupa agar dapat _dieksepsi_ oleh pengacara terdakwa.

Hakim sengaja menunda putusan agar pihak terdakwa menemui hakim dan bernegosiasi untuk menentukan putusan yang akan dijatuhkan, biasanya putusan tergantung kemampuan pihak terdakwa untuk membayar.

         Untuk kasus perdata, modus mafia peradilan sudah tampak sejak tahap awal pada proses administrasi hingga tahap persidangan. 

        Di tingkat pengadilan negeri, melalui panitera, pengacara menghubungi ketua PN untuk melakukan negosiasi penentuan majelis hakim yang akan menangani perkara kliennya. Hakim, melalui panitera menawarkan pilihan putusan sesuai keinginan para pihak dengan bayaran tertentu, di mana pihak yang bisa membayar lebih tinggi akan menentukan keputusan itu sesuai dengan keinginannya.

         Di tingkat banding, panitera atau hakim menghubungi pihak yang mengajukan banding atau yang terbanding melalui pengacaranya masing-masing untuk melakukan penawaran-penawaran, di tingkat kasasi tak luput dari praktik mafia peradilan, modusnya antara lain bagian administrasi dengan cara yang sangat halus dan tidak vulgar meminta dana tambahan tanpa kwitansi kepada pihak yang mengajukan kasasi.

       Sekretaris Jenderal atau asisten hakim agung menghubungi salah satu pihak yang bersengketa dan menawarkan pada mereka suatu putusan yang dapat memenangkan perkara mereka.

          Dalam upaya mengatasi tantangan dalam penegakan hukum dan mafia peradilan, perlu dilakukan perbaikan melalui berbagai upaya, antara lain peningkatan sarana hukum, peningkatan kapasitas, kompetensi, integritas, dan komitmen dalam penegakan hukum, dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat.

        Kita berharap dalam 100 hari program pemerintah baru di bawah Prabowo Subianto, mampu memberantas praktik peradilan yang korup sebagaimana yang beliau utarakan dalam pidatonya akan menegakkan hukum dengan tegas dan keras. _Wallahu 'alam bi showab_ 

 _Allahumma sholli wa sallim 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa ashabihi ajma'in_