Makmum Salat di Serambi | Dr. H. Chazim Maksalina, M.H.
Makmum Salat di Serambi
oleh Dr. H. Chazim Maksalina, M.H.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo
Di bulan Ramadan pada umumnya masjid atau musholla hampir selalu dipenuhi oleh jama'ah baik jama'ah kalangan laki-laki atau perempuan. Karena banyaknya orang, masjid atau musholla tidak mampu menampung padatnya jama'ah, sehingga meluber sampai serambi atau teras masjid. Sementara masjid saat ini dipasang AC sehingga semua pintu dan jendela ditutup rapat dan orang yang salat di serambi masjid tidak bisa melihat imam atau orang yang berjamaah salat. Tentu ini menimbulkan pertanyaan, misalnya apakah salatnya sah. Tentu masih banyak menyimpan pertanyaan yang lain. Untuk itu kita mengajak pembaca membahas kajian menarik ini dari kaca mata fikih.
Sebelum membahas jamaah di luar dan di dalam masjid, perlu diketahui bahwa di dalam kitab-kitab fikih salaf (lama), kata masjid secara bahasa berarti tempat sujud, sedangkan secara istilah memiliki banyak arti, antara lain:
a). Menurut Imam an Nasafi:
Masjid adalah tempat yang disediakan untuk salat dan beribadah.” (lihat Imam an-Nasafi, Tafsir An-Nasafi, juz 3, hal. 476).
b). Menurut Imam al Barakati:
Masjid adalah tempat yang difungsikan untuk sujud dan tempat shalat, dan masjid secara istilah adalah sebidang lahan di bumi yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai masjid dengan mengucapkan “saya jadikan tempat ini sebagai masjid”, lengkap dengan jalan yang telah disediakan dan dikumandangkan adzan di dalamnya. Ketika seseorang telah melaksanankan shalat di dalamnya maka hilanglah kepemilikan lahan. (lihat Imam al Barakati,Qawaid Fiqhiyyah: juz 1, hal. 483).
c). Menurut Imam az Zarkasyi:
Berdasarkan urf kata masjid dapat diartikan sebagai tempat yang disediakan untuk salat lima waktu, yang mengecualikan tempat pelaksanaan salat ied, pondok dan madrasah karena tempat tersebut aslinya disediakan untuk kepentingan lain. (lihat Imam az Zarkasyi, I’lamu As-Sajid, hal. 28).
Dari beberapa pengertian di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa masjid adalah tempat tertentu yang diwakafkan, yang fungsi utamanya adalah untuk melaksanakaan salat berjamaah. Hal ini mengecualikan musholla, pondok pesantren dan madrasah.
Dalam bingkai sejarah, masjid yang pertama kali dibangun sebelum disyariatkannya agama Islam adalah Masjidil Haram, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
“Bahwa dari Abu Dzar radliyallahu anhu berkata; saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang masjid yang pertama kali dibangun, lalu Rasul menjawab; Masjidil haram, kemudian saya bertanya kembali; kemudian masjid mana lagi? Rasulmenjawab; masjidilaqsa, kemudiansaya bertanya kembali; berapa jarak waktu diantara keduanya, Rasul menjawab; empat-puluh tahun”. (lihat Shahih Muslim: juz 3, hal.105).
Sedangkan masjid yang pertama kali dibangun pada masa disyariatkannya agama Islam adalah masjid Quba, sebagaimana dikutip oleh Syeikh az-Zarkasi sebagai berikut:
“Ibnu al Jauzi berkata di dalam Fuhum Ahli al Atsar bahwa orang yang pertama membangun masjid setelah disyariatkan agama Islam adalah Ammar bin Yassar. Dan menurut saya masjid itu adalah masjid Quba. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnu Atsir”.(lihat Syeikh az-Zarkasi, I’lamussajid, hal. 31).
Selanjutnya dijelaskan bahwa pelaksanaan shalat berjamaah di dalam masjid memiliki banyak fadhilah. Ibnu Abbas mengatakan sebagai berikut:
“Masjid adalah sumber cahaya bagi penduduk langit, seperti halnya bintang bagi penduduk bumi”. (lihat Ibnu Abbas, Tafsir Fakhrurrazi, juz 1, hal. 3344).
Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan sebagai berikut:
“Jamaahnya laki-laki di dalam masjid itu lebih utama daripada dilakukan di dalam rumah, pasar dan tempat lainnya. Karena hadits-hadits yang telah kami sebutkan tentang keutamaan berjalan menuju masjid dan karena masjid adalah tempat yang lebih mulia dan karena untuk memperlihatkan syiar shalat berjamaah.” (lihat Imam Syafi’i, Majmu’, juz 4, hal. 198).
Adapun syarat-syarat berjamaah ada tiga belas sebagai berikut:
“Syarat-syarat jamaah itu ada tiga belas yaitu makmum tidak mengetahui batalnya shalat imam, makmum tidak berkeyakinan bahwa salatnya imam batal, tidak berkeyakinan bahwa imam wajib mengqadha salatnya, imam tidak berstatus menjadi makmum, imam tidak seorang yang ummi (cacat bacaannya), laki-laki dan khuntsa (yang berkelamin ganda) tidak makmum kepada perempuan atau khuntsa (yang berkelamin ganda), mengetahui gerakan imam, imam dan makmum berkumpul dalam satu masjid atau satu tempat yang jarak antara imam dan makmum kira-kira tidak melebihi 300 dzira’ (144 meter), makmum berniat jama’ah, runtutan shalatnya makmum dan imam harus sama, makmum harus mengikuti gerakan-gerakan imam yang bila tidak diikuti akan ada perbedaan yang sangat menyolok, makmum harus mengikuti imam”. (lihat Sayyid Ahmad bin Umar as Syathiri, Al-Yaqut An-Nafis. hal 38).
Mengenai salat berjamaah di mana imam berada di dalam masjid dan makmum berada di serambi tetapi pintu masjid tertutup, maka akan terjadi permasalahan berkaitan dengan jamaah, yakni imam dan makmum dianggap tidak berkumpul dalam satu tempat.
Sebelum membahas sah dan tidaknya permasalahan di atas, mari kita cermati terlebih dahulu status serambi masjid menurut istilah fikih. Dalam literatur fikih, serambi masjid, menurut statusnya, diistilahkan dengan rahabah atau harim. Kedua istilah itu dijelaskan sebagi berikut:
- Rahabah
Menurut Syeikh Zainuddin al- Malibari, rahabah adalah tempat yang berada di luar masjid dan disediakan (hajr) untuk perluasan masjid baik diketahui perwakafannya untuk masjid ataupun tidak diketahui karena memandang dzahirnya”. (lihat Syeikh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in: 36).
Adapun hukum jamaah pada rahabah yang imamnya berada di dalam masjid dan pintunya tertutup hukumnya sah, selama rahabah tersebut tidak diyakini dibangun setelah pembangunan masjid dan tidak pula diyakini bukan termasuk bagian masjid. Dengan kata lain, jamaah tersebut sah karena ruang rahabah dan ruang dalam masjid dianggap satu ruangan meskipun pintu masuk ke dalam masjid tertutup.
Tekait dengan hal tersebut, Syeikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami menyatakan
yang artinya: “Diambil dari keterangan sebelumnya bahwasanya terkuncinya pintu tidak membahayakan sahnya jamaah (jamaah antara di dalam ruangan masjid dan di luar ruangan masjid), dan hukum rahabah masjid itu hukumnya seperti masjid dalam sama-sama sahnya orang yang berjamaah di rahabah masjid sedangkan imamnya di dalam masjid, meskipun jaraknya jauh dan terhalang bangunan yang bisa untuk menuju imam”.( lihat Syeikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Hasiyah Al-Bujairami, juz 3, hal. 336).
Kemudian kriteria penghalang yang tidak mempengaruhi keabsahan jamaah di dalam ruangan masjid dan di luar ruangan masjid, Syeikh Muhammad bin Ahmad ar-Ramli mengatakan:
yang artinya: “Imam ar Romli mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penghalang yang bisa untuk menuju imam adalah yang mungkin untuk berjalan menuju imam”.( lihat Syeikh Muhammad bin Ahmad ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz , hal.139).
yabg artinya:“ (Ucapan penulis: walaupun pintunya terkunci) artinya walaupun kuncinya terbengkalai (hilang) karena masih mungkin membuka pintu dengan cara lain dan termasuk kunci adalah gembok, maka tidak membahayakan keabsahan jamaah”. (lihat Syeikh Muhammad bin Ahmad ar-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj: juz 6, hal. 139).
Sedangkan hukum berjamaah pada rahabah yang diyakini dibangun setelah pembangunan masjid, atau diyakini bahwa rahabah bukan termasuk bagian masjid adalah tidak sah apabila makmum berada di dalam rahabah dan imam berada di dalam masjid dengan pintu tertutup karena sudah tidak dianggap satu ruangan. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Syeikh Abu Bakr Syatha sebagai berikut:
yang artinya: “Maka ketika rahabah tidak diyakini dibangun setelah pembanguna masjid atau tidak diyakini bukan termasuk bagian masjid, maka rahabah dihukumi bagian dari masjid. Dan ketika rahabah diyakini sebaliknya, maka rahabah bukan termasuk masjid”. (lihat Syeikh Abu Bakr Syatha, I’anah At-Tahalibin, juz 2, hal. 27).
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa harim masjid tidak dihukumi masjid sehingga apabila jamaah berada di dalam harim sedangkan imam di dalam masjid dan pintu menuju imam tertutup, maka hukum jamahnya tidak sah, seperti rahabah yang tidak termasuk masjid.
Kesimpulannya, jika jamaah berada di serambi masjid sedangkan imam di dalam masjid dan pintu masjid tertutup, maka hukumnya diperinci (tafsil) berdasarkan status serambi masjid itu sendiri sebagai berikut:
Apabila serambi masjid berstatus sebagai rahabah yang tidak diyakini dibangun setelah pembangunan masjid atau tidak diyakini bukan termasuk masjid, maka jamaahnya tetap sah meskipun pintunya tertutup.
Apabila serambi masjid berstatus sebagai rahabah yang diyakini dibangun setelah pembangunan masjid atau diyakini bukan termasuk masjid, ataupun serambi berstatus sebagai harim, maka hukum jamaahnya tidak sah melihat pintu menuju imam tertutup.
Disadur dari KH Habibul Huda Bin Najid, Pengurus Lembaga Bahtsul Masail Jateng
Wallahu a'lam bi showab
Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa sohbihi ajma'in